Kamis, 25 Oktober 2012


Ijtihad: Antara Supremasi Akal dan Wahyu


Oleh: Idris Sadri


Kesempurnaan islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW membuatnya bersifat relevan untuk di aplikasikan dalam segala bentuk zaman dan waktu. Al-Quran secara global, sebagai kitab utama sekaligus pedoman bagi keberlangsungan hidup umat islam, ternyata telah menyediakan berbagai jawaban atas segala macam problematika kehidupan umat ini. Karena kandungannya bersifat global, Al-Quran membutuhkan instrument-instrumen lain untuk menjaga keeksistensian ajarannya. Salah satu dari instrument itu adalah ijtihad, dimana akal di beri keluwesan untuk menciptakan produk hukum “baru” sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah di temukan persistensi kejadiannya dalam Al-Quran dan Hadits.


                Islam datang dan tampil dengan wajah sederhana. Kesederhanaan islam ini merupakan cerminan dari kata islam itu sendiri yang mewatakkan sikap pasrah, patuh dan tunduk. Kepasrahan, kepatuhan, dan ketundukan diri tidaklah mungkin diraih dengan tanpa sikap sederhana individu sepaket dengan menganggap “arah” submisi dari ketiganya merupakan zat Yang Maha Sempurna.

                Tuhan telah menggariskan hukum-hukumnya secara implisit. Dan berangkat dari pernyataan ini, keimplisitan Al-Quran sebagai wahyu cenderung clash dengan sifat manusia yang cenderung berpegang kepada suatu hal yang eksplisit. Oleh karenanya, untuk meng-eksplisit-kan sesuatu dari sesuatu yang implisit, diperlukan perangkat eksternal yang mewadahinya. Perangkat itu adalah hadits. Namun, ini tidak berhenti sampai disini. Bicara hadits juga bicara histori dan situasi. Letak permasalahan sebenarnya adalah disini. Ketika terjebak dalam isu-isu kontemporer, sikap eskapisme ke ranah hadits harus di bekali kehati-hatian yang ekstra, agar jangan terkesan “memperkosa” hadits sebagai perangkat, dan “mengkambinghitamkan” Al-Quran sebagai kitab induk. Inilah kelebihan Islam ketimbang entitas “di luar”nya. Penggunaan akal yang cerdas sangat di butuhkan disini agar tidak terjebak pada tataran praktis yang cenderung pragmatis sehingga bertabrakan dengan nilai-nilai humanis. Fenomena inilah yang dikatakan sebagai ijtihad hukum.

                Ijtihad merupakan suatu perangkat hukum islam dimana seorang yang berijtihad mengerahkan usaha-usaha kombinasi akal, hadits, dan wahyu untuk mengeluarkan suatu sikap hukum yang mewadahi jawaban atas permasalahan furu’ dalam wacana kontemporer yang permasalah tersebut urgen untuk di carikan solusi serta tidak di kenal pada zaman Nabi, sahabat, maupun tabiin.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran atau Al-Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al Hadist.

Hal tersebutlah yang menjadi sorotan dimana orang yang tidak mengerti dan tidak paham Al-Quran dan Hadits “buru-buru” melakukan ijtihad. Kombinasi wahyu-hadits-akal jangan sampai terbalik dalam soal mengurutkannya. Ketika supremasi akal lebih tinggi dari kedua komponen ijtihad itu, maka yang terjadi adalah seperti yang saya katakan, “memperkosa” hadits sebagai perangkat hukum, dan “mengkambing-hitamkan” Al-Quran sebagai kitab induk.
Sebenarnya, Al-Quran bukan tidak pernah menyinggung fakta-fakta kontemporer sekarang ini. Hanya saja Al-Quran menggunakan “bahasa” yang berbeda. Sebagai contohnya arak, whiskey, cointreu, vodka, tuak dan lain-lain sebagainya tidak pernah di sebutkan dan termaktub perkataan-perkataan demikian di Al-Quran. Akan tetapi uji materi terhadap keharamannya parallel dengan Al-Quran dimana telah terjadi pendekatan hukum berdasarkan sifat zat penyusunnnya yang kemudian juga di perkuat pernyataan keharamannya dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Sehingga, hasil ijtihad para ulama untuk menentukan status hukum terhadap benda-benda tersebut telah final dan dinyatakan haram berdasarkan pendekatan zat dan soal intensitas banyak atau sedikitnya yang di singgung dalam hadits. Dan hebatnya, ke-final-an itu ternyata masih di pertanyakan sambil di rekonstruksi lagi. Sehingga keluarlah hasil “ijtihad” yang menyatakan “menghalalkan” khamar-khamar tersebut pada beberapa situasi tertentu, misalnya daerah kutub dan berhawa dingin.

Ijtihad tidaklah terlepas dari nilai-nilai Al-Quran dan Hadits seperti layaknya anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan ijtihad itu sendiri tidak boleh berhenti. Disinilah letak kata pasrah, patuh, dan tunduk tersebut yang esensinya adalah ketertundukan akal terhadap wahyu. Akan tetapi juga yang hal perlu diingat adalah bahwa, melegitimasi suatu konsekuensi hukum kontemporer yang dianggap hasil ijtihad dengan tanpa melakukan pendekatan historis dan konteks sosial yang tidak berseberangan dengan semangat Al-Quran juga keliru. Kalau hal tersebut dilakukan, maka wajah islam akan dipandang kaku, kolot, dan tidak relevan. Oleh karenanya, solusi berijtihad tehadap masalah kontemporer jelas membutuhkan suatu kualifikasi keilmuan dan kecerdasan superfisial dalam memandang dan merasakan. Sehingga hasil ijtihad tadi mampu memberikan jawaban atas kebingungan terjebak dalam tataran masalah kontemporer yang urgen di carikan solusi. Wallahu A’lam.


Membahasakan Agama dan Keyakinan Beragama Secara “Bijak”: Upaya Menuju Kerukunan dan Meredam Akar Konflik


Oleh: Idris Sadri

Keyakinan beragama sejatinya merupakan rahmat bagi setiap pemeluknya. Karena apapun keyakinan beragamanya, keseluruhannya merupakan pengajaran positif yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal bagi umat manusia. Sentimen serta ketegangan antar orang yang berkeyakinan beragama lantaran mencuat akibat adanya “Overthrown Truth Claim” dimana nilai kemutlakan yang seharusnya di “yakini” berubah menjadi di “ekspansi”.


                Dewasa ini, acap kali terjadi berbagai konflik kekerasan yang “memang benar-benar” atau hanya mengatasnamakan agama. Entah itu kasus Poso, Tragedi Ambon, Pengeboman Bali I dan II, Penyerangan komunitas Syiah di Sampang Madura, kasus antara pendukung FPI bentrok dengan jemaat Filadelfia, hingga yang paling hangat di bicarakan di media adalah konflik yang mencuat akibat munculnya film Innocence of Moslem. Kesemuanya seakan akrab dalam keseharian kita dan selalu menghiasi media-media cetak maupun elektronik dimana kita adalah sebagai konsumernya. Merebaknya kasus-kasus tersebut dan bermunculannya berbagai pemberitaan berbagai media mengenainya adalah bukan merupakan suatu kejadian tanpa yang akar, yang terjadinya secara tiba-tiba tanpa sebab yang yang jelas. Kesemuanya merupakan entitas yang saling berkait satu sama lain.

                Lihat saja sebagai contohnya kasus Poso dan Tragedi Ambon yang terlanjur terkuak. Hanya berpangkal pada masalah dua orang pemuda yang adu mulut di pasar ternyata memicu konflik yang lebih besar lagi hingga terjadi apa yang di beritakan di media-media sebagai “Perang Antar Agama”. Serta kasus penyerangan komunitas Syiah di Sampang Madura yang awalnya disebabkan oleh masalah tanah dan berujung dengan apa yang kita namakan konflik Sunni-Syiah.  Begitu juga dengan berbagai aksi pengeboman di tanah air terhadap sektor-sektor public yang dinilai sebagai pengejawantahan kekuasaan Amerika Serikat dan sekutu sejatinya Israel hingga menelan korban jiwa yang anehnya di dominasi oleh orang-orang yang sebetulnya tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat dan Sekutunya. Belum lagi selesai masalah publikasi film Fitna yang di motori oleh Theo van Gogh serta penggambaran karikatur Nabi Muhammad SAW oleh media cetak Denmark Jylland Posten, sudah lagi muncul publikasi film dengan “ruh” yang sama yaitu Innocence of Moslem. Berikut juga soal film yang di inspirasi dari novel karya Dan Brown, The Da Vinci Code yang dianggap menyerang pilar-pilar keimanan Kristen.

  Seakan dunia ini sudah tidak lagi menjadi tempat aman untuk bernaung. Huru hara terjadi dimana mana. Berita mengenai pembantaian, penyerangan, pengeboman, dan konflik horizontal antar warga masyarakat seakan sudah menjadi santapan sehari-hari. Ketakutan, kecemasan, dan rasa khawatir yang berlebihan menghinggapi mereka yang “dianggap” minoritas. Perbedaan mazhab, aliran dan sekte dijadikan dalih untuk saling membunuh. Dalam kondisi ini, keyakinan beragama yang sejatinya dianggap mampu untuk menembus relung-relung hati kecil manusia yang cenderung pada kasih sayang berubah dengan cepat seiring anggapan bahwa keyakinan beragama tertentu adalah monster yang harus dilenyapkan.

                Bergerak dari kenyataan diatas, maka sejumlah pakar membentuk suatu komunitas, forum, dan aliansi untuk bagaimana mengkontekstualisasikan pemahaman beragama dalam meredam akar konflik yang berkepanjangan ini. Dibukalah berbagai seminar dan diskusi untuk menjawab tuntas pertanyaan seputar kenyataan ini. Ternyata hal ini memunculkan permasalahan baru yaitu munculnya ideologi yang bertentangan dengan agama dan keyakinan beragama itu sendiri dimana muncul anggapan kesejajaran semua agama yang sebagain kalangan dianggap sebagai resep paling jitu dalam memandang keberagaman beragama dan berkeyakinan beragama.

Relativitas “Benar-Salah” dan Absolutisitas “Kebenaran”

                Sebagai manusia yang berbudaya, perasaan tentang benar dan salah adalah wajar dan menjadi mutlak harus ada pada setiap diri manusia secara individu dan akan menjadi relatif bila disandingkan dengan lingkungan. Benar dan salahnya tentang suatu hal akan berbeda bagi setiap seorang dikarenakan setiap orang memiliki perspektif yang berbeda dalam memandang sesuatu. Akan tetapi, yang namanya kebenaran bersifat mutlak dan harus “steril” dari campur tangan manusia bahkan alam semesta. Kebenaran sejatinya merupakan milik Tuhan Yang Maha Esa. Setiap orang yang memiliki keyakinan beragama pasti memiliki relativitas benar dan salah dalam upaya untuk menuju pada absolutisitas kebenaran. Yang menjadi persoalan disini adalah terjadinya Counter Transgressiondimana membludaknya pemaksaan nilai absolutisitas kebenaran kearah relativitas benar dan salah. Sehingga yang menjadi produk dalam hal ini adalah tindakan pemaksaan semena-mena membenarkan dan menyalahkan sesuatu secara mutlak di hadapan orang yang memiliki kebenaran yang berbeda dengan yang memaksa yang dalam bahasa lain disebut dengan oppressive reinforcement (“Overthrown Truth Claim”).

                Jelas tindakan ini sangat berbahaya dan akan menyulut konflik. Agama-agama samawi, sekalipun memiliki fondasi yang “sama”  tetaplah berbeda dalam syariatnya. Nah, perbedaan syariat inilah yang terlalu di besar-besarkan. Sangat kita yakini bahwa masing-masing dari ketiga agama samawi tersebut pasti menganggap agamanya benar dan yang bukan agamanya merupakan yang salah. Hal itu jelas tidak bisa kita hindarkan apalagi dengan mengagung-agungkan semangat ekualisme agama dengan mengusung tema bahwa semua agama adalah sama. Sehingga yang tercermin dalam berbagai forum-forum yang mengusung tema ini adalah sebuah kerukunan yang semu dan cenderung menyembunyikan kemunafikan. Jelas prinsip penyamaan agama adalah prinsip yang gagal dan cenderung untuk meruntuhkan prinsip-prinsip agama. Agama-agama tetap harus ada demi menjaga prinsip keseimbangan hidup di dunia tidak boleh disamakan apalagi disatukan dalam kerangka teologis. Bukankah Tuhan yang telah menciptakan sekian banyak perbedaan termasuk perbedaan beragama dan perbedaan berkeyakinan beragama, kita sebagai makhluknya telah lancang menyamakan sekian banyak perbedaan tersebut demi tujuan-tujuan duniawi yang terkadang politis dan tidak bisa di benarkan?

Pluralitas versus Pluralisme

Kegalauan dalam menganggap ajaran agama dan keyakinan beragama yang dianut oleh seseorang dengan  tindakan menganggap bahwa semua agama adalah sama jelas merupakan suatu kekeliruan yang tidak bisa di tolerir. Semangat ekualisme agama seperti yang di paparkan diatas jelas bukan merupakan solusi yang baik. Dalam alam kebihinekaan Indonesia pada abad modern ini, prinsip penyamaan agama jelas akan mengkoreksi prinsip-prinsip Bhineka Tunggal Ika itu sendiri.

Pluralisme agama itu beda dengan pluralitas. Pluralitas hanyalah mengakui adanya agama-agama, tidak mengakui sama ataupun benarnya. (Kalau pluralitas dalam satu agama, kami maksudkan dalam tulisan ini adalah kebalikan dari eksklusivitas. Misalnya orang Al-Irsyad, Persis dan lainnya boleh-boleh saja shalat di masjid orang Muhammadiyah, itu pluralitas. Sedang orang LDII hanya ada di masjid mereka dan masjid mereka hanya untuk mereka, itu eksklusif. Sedang pluralisme agama itu mengakui semua agama sama. Jadi pluralisme agama itu faham kemusyrikan, menyamakan semua agama, maka penyembah berhala disamakan dengan penyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pengertian yang mudah difahami umat Islam adalah istilah musyrik. Ketika diganti dengan istilah baru, pluralisme agama, maka umat ini tidak faham. Padahal sebenarnya adalah kemusyrikan, dan termasuk upaya-upaya orang musyrik dalam meneguhkan kemusyrikannya.
Dalam riwayatnya, orang musyrikin Quraisy di Makkah pun meminta Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyembah berhala selama satu tahun, dan mereka akan menyembah Allah selama satu tahun juga. Kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun, dan di dalamnya Dia memerintahkan Rasul-Nya untuk melepaskan diri dari agama mereka secara keseluruhan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Kafirun ayat 1).
Kalau model kemusyrikan sekarang yang namanya pluralisme agama, bukan masalah penyembahannya yang dipentingkan, namun pemahamannya, dari aqidah tauhid ditarik-tarik ke kemusyrikan yang diganti nama dengan pluralisme agama.

Dari sini jelaslah bahwa pluralisme agama itu faham kemusyrikan, dan merupakan upaya-upaya orang musyrikin dalam propaganda kemusyrikannya. Itu semua telah dibantah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Kafirun.

Sebenarnya masalah pluralitas (mengakui adanya perbedaan, bukan mengakui semua agama sama seperti pluralisme) secara intern di kalangan Islam tidak masalah. Jamaah NU tidak ada hambatan apapun shalat di masjid orang-orang Muhammadiyah dan sebagainya. Begitu juga sebaliknya.
Kalau toh ada eksklusivitas, itu biasanya terjadi di kalangan aliran sesat seperti LDII (Islam Jama’ah), Ahmadiyah Qadian dan Lahore dan sejenisnya. Mesjid mereka tertutup bagi kalangan di luar mereka. Pernikahan pun hanya terjadi di antara sesama mereka.

Yang juga eksklusif adalah agama Kristen. Orang Katholik tidak mau disamakan dengan orang Kristen Protestan, mereka beribadah di gereja masing-masing. Bahkan orang Katholik menyebut dirinya “Katholik” saja tanpa embel-embel Kristen, berbeda dengan “Kristen Protestan” yang masih menempelkan Kristen sebelum sekte Protestannya.

Orang Katholik tidak dibenarkan menikah dengan Kristen Protestan meski sama-sama bertuhankan Yesus. Apalagi dengan agama lain.
Di dalam Kristen terdapat ratusan bahkan ribuan sekte yang masing-masing punya gereja sendiri. Jemaat gereja Bethel tidak beribadah di gereja Nehemia, begitu seterusnya. Bahkan pernikahan pun demikian, sebisa mungkin terjadi di antara jemaat satu gereja.

Berbeda dengan Kristen yang eksklusif, agama-agama kebudayaan seperti Hindu, Budha, Kong Hucu, meski terkesan longgar namun tetap saja berpendirian tidak semua agama sama. Mereka memang tidak keberatan ritual keagamaannya dijadikan objek wisata. Bahkan penganut agama lain pun, bila ingin menikah dengan tata cara (ritual) agama mereka, boleh-boleh saja. Pernah terjadi, Mick Jagger dedengkot The Rolling Stone menikah di salah satu negara Asia dengan menggunakan tata cara (ritual) agama mayoritas di negeri tersebut. Padahal kedua mempelai bukanlah penganut agama tersebut.

Masih ingat ketika Megawati bersembahyang di Pura? Padahal ia bukan penganut Hindu. Pendeta dan masyarakat Hindu di Bali tidak marah, malahan mereka senang sekali. Sampai-sampai, ketika AM. Saefuddin meledek Megawati, orang-orang Hindu bukannya marah kepada Megawati tetapi justru kepada AM. Saefuddin. Padahal, seharusnya mereka berterimakasih bukannya malah marah kepada AM. Saefuddin.
Tahun 2006, penerbit Media Hindu pernah meluncurkan buku berjudul “Semua Agama Tidak Sama” yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu. Intinya, mereka mengkritisi Pluralisme Agama.

  Ngakan Made Madrasuta, editor buku tersebut, dalam kata pengantarnya menyanggah paham pluralisme agama yang sering dijajakan kaum Hindu pluralis. Mereka, kaum Hindu pluralis itu, selama ini telah memelintir makna yang tersurat dari Bagawad Gita, yang antara lain berbunyi : “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Menurut Madrasuta, itu tidak bisa dijadikan dasar pembenaran atas pluralisme agama (Hindu). Karena, yang disebut “Jalan” adalah empat yoga : Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Kesemuanya itu hanya ada dalam agama Hindu. Tidak ada dalam agama lain.

                Oleh karenanya, islam mengajarkan prinsip toleransi terhadap pluralitas bukan pluralism dan ekualisme agama. Islam sangat menjunjung tinggi sikap toleransi yang dengannya kita tidak boleh memaksakan kebenaran islam kepada orang yang memiliki kebanaran non-islam pula, begitu juga halnya dengan ketidakbolehan memaksakan kebenaran suatu keyakinan beragama kepada orang yang yang memegang suatu keyakinan beragamanya pula.

Islam Adalah Agama Damai Dan Tanpa Paksaan
               
Lahirnya islam merupakan pukulan keras bagi komunitas penduduk Quraisy. Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW dianggap sebagai penistaan terhadap kepercayaan yang sudah dalam zona mapan. Datangnya islam berarti kehancuran pada Latta, Uzza, dan Manat. Kedatangan islam juga ternyata menyulut konflik antar kabilah (klan) antara klan yang ikut ajaran yang dibawa Rasulullah SAW dan yang tetap teguh memegang tradisi yang mereka anggap berasal dari nenek moyang mereka. Bahkan Bani Hasyim sendiri, klan dimana Rasulullah berasal, menyatakan konfrontasi dengan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

                Mulanya, sangat sulit Rasulullah SAW menjalankan misi dakwahnya. Sehingga yang terjadi hanyalah beberapa orang yang mau menerima ajaran Rasulullah SAW yang mana kita kenal dalam sejarah disebut dengan Al-Sabiqun Al-Awwalun yang diawali dengan Khadijah ra. yang merupakan istri Beliau sendiri hingga ke Ali ra.

                Perlu kita cermati bahwa prinsip dasar misi dakwah Rasulullah adalah menyeru dan mengajak, bukan memaksa. Sehingga inilah yang menjadi nilai plus bagi beliau. Dan keberterimaan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW masuk dengan yang kita kenal dengan prinsip dakwah Bi Al-Hikmah Wa Al-Mauizah Al-Hasanah. Rasulullah SAW terlebih dahulu mencontohkan budi pekertinya sehingga orang-orang bersimpati terhadap beliau. Bukan dengan jalan kekerasaan dan paksaan. Inilah mengapa dakwah yang beliau emban sukses. Beliau berdakwah dengan cara mengajak dan menganjurkan. Oleh karenanya beliau di segani lawan maupun lawan. Bahkan bukan sedikit orang yang tidak suka dengan ajaran yang dibawa Beliau hendak mencelakakan bahkan nyaris membunuhnya. Tapi semua itu Rasulullah hadapi dengan senyuman tanpa memperlihatkan sedikitpun rasa permusuhan. Inilah yang tidak di “gubris” kaum Muslimin zaman sekarang. Rasulullah tidak pernah mengajarkan “menyerang” dan “membalas” perlakuan orang yang berbuat zalim. Kenyataanya sekarang adalah, begitu mudahnya orang Muslim menumpahkan darah non-Muslim dan bahkan menumpahkan darah sesama Muslim pula hanya karena salah persepsi dalam menyikapi Relativitas “Benar-Salah” dan Absolutisitas “Kebenaran”. Lantas, dimana penghormatan mereka terhadap Rasulullah disaat mereka tidak menjalankan sunnahnya yang mulia justru berkoar-koar dengan cara anarkis dan membabi buta menumpahkan orang-orang yang sepintas mereka anggap bertanggung jawab dalam menistakan Rasulullah dalam publikasi film?

Kesimpulan: Membuka Diri Dengan Kenyataan Perbedaan

                Kita tidak perlu berlaku paradox dan munafik ketika kita membicarakan bangunan kerukunan di tengah sekian banyak perbedaan. Jelas agama tidak bisa disatukan dan disamakan. Pasti ada poin-poin penting yang menyebabkan orang memilih suatu agama. Tapi satu hal yang perlu dicatat dan diperhatikan adalah, dalam memilih agama dan berkeyakinan beragama tertentu menuntut suatu konsekuensi logis dimana kita harus secara kaffah menjalankan ajaran agama dan keyakinan beragama yang kita pilih untuk di anut tersebut.

                Dan kemudian soal relativitas “benar-salah” dan absolutisitas “kebenaran” merupakan suatu yang layak dan harus ada pada setiap diri manusia baik yang atheis maupun yang agnostic. Tapi yang perlu di perhatikan adalah “etika” dalam memandang versi kebenaran. Mungkin, kebenaran itu tidaklah berversi-versi karena sifat kemutlakkan yang melekat padanya. “etika” yang saya maksudkan disini adalah suatu perbuatan dan pikiran positif untuk meyakini dan menjalankan kebenaran yang kita anut tanpa memaksakan kebenaran tersebut kepada orang yang meyakini dan menjalankan kebenaran versinya pula. Sehingga prinsip tidak ada paksaan dalam agama itu bisa kita wujudkan dalam menciptakan semangat egalitarian dimana setiap manusia itu berkesamaan kedudukannya dalam hak dan kewajiban dimana ia harus hidup dalam ikatan aturan-aturan agama yang ia anut.

                Kita semua adalah terlahir sebagai manusia dan akan kembali kepada-nya dalam rupa manusia pula. Inilah yang menyatukan kita. Sikap saling menghargai dan toleransi terhadap berbagai macam agama dan keyakinan beragama antar sesama manusia ciptaan Tuhan merupakan wujud hormat dan rasa syukur kita terhadap Tuhan, terlepas bagaimana persepsi kita mengenai Tuhan itu sendiri. Bukti dari bahwa kita beragama dan memiliki keyakinan beragama adalah tidak hanya mencakup hubungan vertical kita kepada Tuhan tapi juga mencakup bagaimana kita memahami dan bertoleransi terhadap makhluk lain yang juga ciptaan Tuhan. Karena kita adalah makhluk beragama dan berkeyakinan beragama yang sama-sama manusia ciptaan Tuhan maka kita selayaknya berbagi dan saling menghormati. Wallahu A’lam.

Syariat Islam




Oleh: Idris Sadri


           Bagi kaum Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat, haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya,  adalah sebagian aspek kehidupan yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang Muslim sendiri yang syariat-fobia.
           Faraj Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir,  dalam salah satu acara debat pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step... karena saya melihat dalam penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima applikasi Syariat Islam... dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
          Diantara sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal,  kata mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri. Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih dapat mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka gunakan teori ‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
           Leonard Binder mengungkap pandangan semacam itu (1988:4) “the language of the Qur’an is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Qur’an do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed language.”
          Jadi, kata mereka, yang penting dalam memahami ayat-ayat al-Quran adalah esensinya; bukan makna literalnya. Yang penting tujuannya, bukan bentuk hukumannya. Dr. Yusuf Qaradawi menggelar mereka sebagai kaum neo-Mu’attalah (orang yang mengabaikan nash-nash al-Qur’an). Kelompok ini kata al-Qaradawi selalu menggunakan konsep Maqasid Syariah sebagai alasan untuk tidak berpegang kepada nash al-Qur’an yang oleh para ulama dikategorikan valid dalam hal transmisi (qat’i al-wurud) dan juga valid dalam hal maknanya (qat’iy al-dilalah). Dalam kerangkan berpikir inilah para kaum esensialis ini akhirnya menolak hukum hudud, qishas, jilbab, hukum waris, poligami dan sebagainya.

Argumen Esensialis 
         Menurut hemat saya kerangka berpikir kaum esensialis ini dibangun atas dua fondasi. Pertama,  pandangan mereka bahwa al-Qur’an adalah merupakan respon langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarki, sistem ekonomi yang opresif, politik yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu. Sebagai jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah al-Qur’an dengan sistem hukum yang bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan humanisasi yang sebenarnya tujuan utamannya dalah menciptakan keadilan (al-adalah) dan persamaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah).
         Dalam konteks ini Fazlur Rahman(1979:2) pernah menuliskan: “The Qur’an is the divine response to Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.”
         Dengan kata lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya,  maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
         Saat menyinggung hukum Islam yang berhubungan dengan urusan publik seperti hukum hudud, qisas, dan yang sejenisnya, pemikir liberal Abdullah  an-Na’im  (1990:59) mengatakan bahwa: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent with historical context. But it does not make it justified and consistent with present context. Furthermore, given the concrete realities of the modern nation-state and present international order, these aspects of the public law of Shari’a are no longer politically tenable.”
         Kedua,  -- masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid Syari’ah.  Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia. Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
          Seorang cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi mayarakat Arab,  hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas, katanya,  hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286).  Muhammad ‘Abid al-Jabiri menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.” (1996:171).

Nash dan Tujuan Syariat
         Ulama bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam al-Ghazali yang kemudian mensistemasikanMaqasid Syariah ini menjadi tiga kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h. 161-172).  Teori ini kemudian oilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
         Pergantian masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap menjadi pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan prinsip maqasid.
Muhammad Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan (prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum dalam membuat keputusan.” (1991:39).
         Menurut al-Qaradawi: “Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku kontradiksi” (2000:143). Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
         Muhammad al-Sid dalam bukunya al-Hudud (1996:9) menuliskan:  “The application of the hudud is mandatory and no one h as the right to avoid or circumvent it in any way, otherwise it would be a denial of the divine attributes mentioned above and a terrible disobedience to God.”  Ditempat lain dia juga menyatakan: “According to the Shari’ah, the hudud are immutable, mandatory and an integral part of legal system of the Islamic state.” (9-10) Di halaman lain dia kembali menegaskan: ‘All the Muslim jurists are unanimous that the hudud laws are not subject to change or alteration,” karena pertama ia berdasarkan ayat qath’yi al-tsubut wa al-dilalah (72)
Anggapan bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti (1992: 103; Raysuni, 2000: 45-49) menjelaskan bahwa salah satu unsur penting dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid Syari’ah sudah terpenuhi.
         Imam Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat, menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa) berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan (penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)
       Itulah prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia, ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam, mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina. Dan ini teramat sulit dipenuhi.
        Yang lebih penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)