Kamis, 25 Oktober 2012


Ijtihad: Antara Supremasi Akal dan Wahyu


Oleh: Idris Sadri


Kesempurnaan islam sebagai ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW membuatnya bersifat relevan untuk di aplikasikan dalam segala bentuk zaman dan waktu. Al-Quran secara global, sebagai kitab utama sekaligus pedoman bagi keberlangsungan hidup umat islam, ternyata telah menyediakan berbagai jawaban atas segala macam problematika kehidupan umat ini. Karena kandungannya bersifat global, Al-Quran membutuhkan instrument-instrumen lain untuk menjaga keeksistensian ajarannya. Salah satu dari instrument itu adalah ijtihad, dimana akal di beri keluwesan untuk menciptakan produk hukum “baru” sebagai jawaban atas pertanyaan yang tidak pernah di temukan persistensi kejadiannya dalam Al-Quran dan Hadits.


                Islam datang dan tampil dengan wajah sederhana. Kesederhanaan islam ini merupakan cerminan dari kata islam itu sendiri yang mewatakkan sikap pasrah, patuh dan tunduk. Kepasrahan, kepatuhan, dan ketundukan diri tidaklah mungkin diraih dengan tanpa sikap sederhana individu sepaket dengan menganggap “arah” submisi dari ketiganya merupakan zat Yang Maha Sempurna.

                Tuhan telah menggariskan hukum-hukumnya secara implisit. Dan berangkat dari pernyataan ini, keimplisitan Al-Quran sebagai wahyu cenderung clash dengan sifat manusia yang cenderung berpegang kepada suatu hal yang eksplisit. Oleh karenanya, untuk meng-eksplisit-kan sesuatu dari sesuatu yang implisit, diperlukan perangkat eksternal yang mewadahinya. Perangkat itu adalah hadits. Namun, ini tidak berhenti sampai disini. Bicara hadits juga bicara histori dan situasi. Letak permasalahan sebenarnya adalah disini. Ketika terjebak dalam isu-isu kontemporer, sikap eskapisme ke ranah hadits harus di bekali kehati-hatian yang ekstra, agar jangan terkesan “memperkosa” hadits sebagai perangkat, dan “mengkambinghitamkan” Al-Quran sebagai kitab induk. Inilah kelebihan Islam ketimbang entitas “di luar”nya. Penggunaan akal yang cerdas sangat di butuhkan disini agar tidak terjebak pada tataran praktis yang cenderung pragmatis sehingga bertabrakan dengan nilai-nilai humanis. Fenomena inilah yang dikatakan sebagai ijtihad hukum.

                Ijtihad merupakan suatu perangkat hukum islam dimana seorang yang berijtihad mengerahkan usaha-usaha kombinasi akal, hadits, dan wahyu untuk mengeluarkan suatu sikap hukum yang mewadahi jawaban atas permasalahan furu’ dalam wacana kontemporer yang permasalah tersebut urgen untuk di carikan solusi serta tidak di kenal pada zaman Nabi, sahabat, maupun tabiin.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran atau Al-Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al Hadist.

Hal tersebutlah yang menjadi sorotan dimana orang yang tidak mengerti dan tidak paham Al-Quran dan Hadits “buru-buru” melakukan ijtihad. Kombinasi wahyu-hadits-akal jangan sampai terbalik dalam soal mengurutkannya. Ketika supremasi akal lebih tinggi dari kedua komponen ijtihad itu, maka yang terjadi adalah seperti yang saya katakan, “memperkosa” hadits sebagai perangkat hukum, dan “mengkambing-hitamkan” Al-Quran sebagai kitab induk.
Sebenarnya, Al-Quran bukan tidak pernah menyinggung fakta-fakta kontemporer sekarang ini. Hanya saja Al-Quran menggunakan “bahasa” yang berbeda. Sebagai contohnya arak, whiskey, cointreu, vodka, tuak dan lain-lain sebagainya tidak pernah di sebutkan dan termaktub perkataan-perkataan demikian di Al-Quran. Akan tetapi uji materi terhadap keharamannya parallel dengan Al-Quran dimana telah terjadi pendekatan hukum berdasarkan sifat zat penyusunnnya yang kemudian juga di perkuat pernyataan keharamannya dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Sehingga, hasil ijtihad para ulama untuk menentukan status hukum terhadap benda-benda tersebut telah final dan dinyatakan haram berdasarkan pendekatan zat dan soal intensitas banyak atau sedikitnya yang di singgung dalam hadits. Dan hebatnya, ke-final-an itu ternyata masih di pertanyakan sambil di rekonstruksi lagi. Sehingga keluarlah hasil “ijtihad” yang menyatakan “menghalalkan” khamar-khamar tersebut pada beberapa situasi tertentu, misalnya daerah kutub dan berhawa dingin.

Ijtihad tidaklah terlepas dari nilai-nilai Al-Quran dan Hadits seperti layaknya anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan ijtihad itu sendiri tidak boleh berhenti. Disinilah letak kata pasrah, patuh, dan tunduk tersebut yang esensinya adalah ketertundukan akal terhadap wahyu. Akan tetapi juga yang hal perlu diingat adalah bahwa, melegitimasi suatu konsekuensi hukum kontemporer yang dianggap hasil ijtihad dengan tanpa melakukan pendekatan historis dan konteks sosial yang tidak berseberangan dengan semangat Al-Quran juga keliru. Kalau hal tersebut dilakukan, maka wajah islam akan dipandang kaku, kolot, dan tidak relevan. Oleh karenanya, solusi berijtihad tehadap masalah kontemporer jelas membutuhkan suatu kualifikasi keilmuan dan kecerdasan superfisial dalam memandang dan merasakan. Sehingga hasil ijtihad tadi mampu memberikan jawaban atas kebingungan terjebak dalam tataran masalah kontemporer yang urgen di carikan solusi. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar